FPIISumbar.com,Palembang – Kasus sengketa tanah di Labi-Labi Kelurahan Alang-alang Lebar Kecamatan Alang-alang Lebar Kota Palembang seluas 32 Hektar hingga kini belum menemui titik temu.
Bahkan, kasus ini pun dilaporkan hingga ke Kementrian ATR/BPN, KomnasHam, Komnas Perempuan, DPR RI Komisi II, Kantor Staf Presiden dan Mabes Polri/Propam Polri.
Menanggapi kasus sengketa tanah tersebut, Sekjend Komite Reforma Agraria Sumatera Selatan (KRASS) Dedek Chaniago mengatakan bahwa
Kementrian ATR/BPN dalam hal ini Inspektorat Bidang Sengketa menyatakan, tidak ada Sertifikat atas nama Timur Jaya Grup melainkan 4 orang bernama (Fenny Suryanto, Rusdiana Suryanto, Laily Suryanto, Triyana Suryanto) dan atas laporan warga soal tanah tersebut ditelantarkan, dikelola, dimanfaatkan dan mendesak asal usul pihak 4 orang yang memiliki sertifikat lahan beserta lokasi dan luasan lahan, akan kami lakukan penelitian, investigasi atau pengecekan terhadap tanah tersebut.
“Dan memalui telpon langsung waktu pertemuan tersebut Kementrian ATR/BPN menelepon Kepala Kantor Pertanahan BPN Kota Palembang yang menyatakan telah membuat jadwal untuk memanggil 4 orang yang memiliki sertifikat tanah tersebut untuk di gali informasi serta kemudian juga nanti pihak masyarakat dipanggil/diundang juga dalam pertemuan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kalau dari Kantor Staf Presiden yang di temui langsung Deputi penangan konflik lahan bernama Usep, menyatakan akan meneliti dan akan mendorong pemerintahan setempat dalam hal ini Gubernur Sumsel dan Walikota Palembang, terhadap hak hak warga yang telah kebiri sehingga hilang rasa keadilan bagi masyarakat dan permasalahan ini akan kami laporkan langsung kepada Bapak Presiden.
“Sedangkan kalau dari DPR RI, diterima langsung oleh Wakil Ketua Komisi II (Arif Wibowo dari Fraksi PDI P) dan Anggota Komisi II (Wahyu Sanjaya Dapil SumSel), akan membawa masalah masyarakat ini dalam rapat di komisi II dan akan memanggil para pihak terkait untuk mendengar dan menggali persoalan tersebut dan mendorong agar ada win win solusi atau sampai keadilan ditegakkan terhadap hak atas tanah yang memang harus di kelola sesuai bunyi UU POKOK AGRARIA NOMOR 5 TAHUN 1960 dan kemudian akan berkoordinasi dengan DPRD PROPINSI Sumsel serta DPRD Kota Palembang agar terlibat aktif dalam penyelesaian konflik masyarakat ini,” ujarnya.
Dijelaskan Dedek Chaniago, hasil dari pengaduan masyarakat korban penggusuran tanah atau konflik tanah ini ke jakarta dan menemui/pengaduan ke Ke Kementrian ATR/BPN, Kantor Staf Presiden dan DPR RI Komisi II dan sudah dijelaskan langsung, patutlah terlihat bahwa Tanah tersebut Tidak ada Sertifikat Atas nama PT Timur Jaya Grup dan berbagai pemerintah daerah mendiamkan fisik terbengkalai bagi si yang mengakui memiiki tanah dan tentu ini melanggar UUPA Nomor 5 Tahun 60 Pasal 27 Tentang Hak Milik dapat dicabut bila tanah ditelantarkan.
“Dan juga di pasal 24 kepemilikan lahan tidak boleh melampaui batas. Dan Mengacu pada UUD 1945, TAP MPR No 9 tahun 2001, UUPA 5 1960 dan PP. Nomor 5 Tahun 2018, tanah tersebut haruslah segera di berikan ke masyarakat guna untuk dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dalam hal ini 521 KK yang sudah menggarap, memanfaatkan dan mengelola lebih dulu tanah tersebut untuk menghidupi anak dan istri,” jelasnya.
Sedangkan kalau di Komnasham, Komnas Perempuan dan Mabes Polri atau Propam Polri dijelaskan oleh Era Purnama Sari Wakil Direktur Advokasi YLBHI, Masyarakat sudah mengadukan persoalan konflik tanah ini yang diduga terdapat unsur pelanggaran HAM, Pidana, dan penyalahgunaan wewenang serta Gratifikasi.
“KomnasHam diteeima langsung oleh Hairansyah komisioner Sub Komisi penegakan hukum, setelah mendengar langsung pengaduan masyarakat dengan memperlihatkan bukti bukti, kami akan langsung melakukan penelitian dan penyelidikan, jikalau memang ada pelanggaran HAM nya yang dilakukan oleh pihak pihak terkait, kami akan mengirimkan surat berupa rekomendasi terhadap pelanggaran Hak Asazi Manusia tersebut,” terangnya.
Sementara, di Mabes Polri Masyarakat mengadukan ke Propam Polri terkait hadirnya Aparat Kepolisian hingga 700 personil dan dipimpin langsung di lapangan oleh Kapolterstabes dalam penggusuran tanah warga tersebut.
Laporan diterima dengan Nomor: SPSP2 /1882 / VII / 2020 / BAGYANDUAN. Dan ke Bareskrim Polri terkait soal pengerusakan kebun tanaman masyarakat yang di gusur. Tapi di tolak oleh kepolisian untuk pengaduan tersebut, dikarenakan soal alas hak atas tanah. Padahal sudah dijelaskan oleh Era bahwa tidak mempersoalkan atas hak, karena sedang di proses penyelesaian konflik di Kementrian ATR/BPN, melainkan soal kebun tanaman yang di tanam oleh masyarakat di rusak dan ini tindakan ketidak adilan soal siapa saja sama di mata hukum dan siapa saja boleh melaporkan atas dugaan pelanggaran hukum.
Sementara itu, Era Purnama Sari dari YLBHI Pusat mengatakan bahwa pengaduan masyarakat ke KomnasHAM tidak bisa membantah lagi seharusnya soal pelanggaran HAM, sebab ada korban, ada bukti baik fisik maupun foto vidio.
“Begitu juga dengan pengaduan masyarakat ke PROPAM POLRI, kalau memang mau menegakkan UU No 2 tahun 2020 tentang KEPOLISIAN RI. kepolisian harus bersikap Profesional walau anggotanya dilaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang terkait penggusuran ditanggal 12 Febuari 2020 lahan warga dan mesti dilakukan penyelidikan sampai pada ditemukannya atau pun tidak, terhadap unsur unsur pengaduan dari masyarakat tersebut yang faktanya memang ada penggusuran lahan masyarakat yang sudah ditanami, dikelola dan dimanfaatkan sejak tahun 2003 tanpa ada putusan pengadilan,” jelasnya.
Selain itu menurutnya, Aparat penegak hukum harus melihat juga dugaan unsur gratifikasinya, sebab dengan menurunkan personil sampai 700 pakai uang siapa, uang negara kah atau uang 4 orang yang mengaku memiliki lahan tersebut untuk menggusur.
LBH Palembang menyoroti soal kriminalisasi 4 warga yang ditahan di tuduh dengan Pasal UU Darurat tentang membawa Sajam. Ke 4 orang tersebut Sopian (48), Rian Hidayat (33), Azhari (61), Dedi Harmoko (40). Proses ke 4 terdakwa ini sudah sampai tahap Saksi dan Jawaban sela dari hakim dari esepsi Penaehat hukum terdakwa.
” Kami melihat, mulai dari kronologis penangkapan, dakwaan dan tuduhan pasal yang dikenakan kepada terdakwa dipaksakan, sebab seharusnya aparat kepolisian dan kejaksaan sebelum memproses warga sebelum menyimpulkan menjadikan tersangka dan terdakwa, aparat harus melihat peruntukan Senjata tajam berupa parang tersebut. Sebab fakta yang ada kami kumpulkan berdasarkan bukti bukti, bahwa warga tersebut pulang dari berkebun dan tepatlah parang tersebut kegunaannya untuk berkebun.
Kami LBH Palembang meminta Hakim untuk Profesional melihat dugaan pelanggaran hukum yang di tuduhkan kepada 4 terdakwa ini dan sepatut nyalah 4 terdakwa ini segera di bebaskan atau tidak bersalah atas tuduhan tersebut. Dan satu lagi, ke 4 terdakwa saat ini masih di tahan di Polrestabes Palembang, kami berharap ke 4 terdakwa ini segera di pindahkan atau dilimpahkan ke tahanan Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) mengingat terdakwa ini adalah tahanan Kejaksaan dan juga menghindari dugaan intimidasi atau tekanan dari aparat kepolisian pada saat persidangan yang pakai cara Daring atau online.
Harapan dari masyarakat yang diwakili oleh Tokoh Masyarakat atau Mantan Rt pertama kali di daerah tersebut, Hermanto Satar dan juga Ketua Organisasi Persatuan Masyarakat Pejuang Tanah Alang Alang Lebar Untuk Rakyat Dedi Wijaya, untuk segera pemerintah mengembalikan lahan tersebut untuk ditanami, dikelola dan dihasilkan buat kelangsungan hidup anak dan istri dan ke 4 saudara kami yang ditahan segera di bebaskan.
Untuk diketahui, bahwa konflik Tanah dan penggusuran tanah serta kriminalisasi masyarakat yang berlokasi di daerah Labi-labi Kelurahan Alang-alang Lebar Kecamatan Alang-alang Lebar Kota Palembang seluas 32 Hektar adalah tanah hutan tak bertuan berasal dari Kabupaten Musi Banyuasin, dan kemudian Kota Palembang Kecamatan Talang Kelapa dan Kemudian dimekarkan jadi Kecamatan Alang-alang Lebar.
Kasus sengketa tanah ini pun belum menemui titik temu hingga diadukan ke Jakarta.
Awalnya, pada 2003-2019 masyarakat datang untuk bercocok tanam dengan tanaman palawija dan sebagian lagi tanah yang berisi pohon-pohon besar berupa hutan untuk melanjutkan hidup anak istri dan tidak ada yang melarang dan mengakui/mengeklaim mempunyai lahan tersebut, termasuk PT Timur Jaya Grup.
Dibuktikan secara fisik (foto/vidio) dan tertulis dari Mantan Rt pertama kali menjabat di daerah tersebut bernama Hermanto Satar.
Barulah pada bulan Desember 2019, ada yang datang atas nama PT. Timur Jaya Grup diwakili Penasehat Hukum bernama Reza mengakui memiliki lahan tersebut, dengan menunjukan bukti Sertifikat Hak Milik (SHM). Namun, tidak menunjukan isi SHM, baik luasan maupun Lokusnya, sehingga terjadi perdebatan,
Tanpa ada putusan pengadilan atau gugatan kepada warga yang menguasai dan kejelasan atas tanah tersebut yang menduduki dan menanam dari sejak tahun 2003-2019, pada tanggal 12 Febuari 2020, tanah tersebut langsung digusur dengan di amankan 700 personil aparat kepolisian yang dipimpin langsung Kapolrestabes Palembang dan ada kalimat yang menghalangi akan disikat.
Dan sekarang tanah, tersebut rata dengan tanah dan lahan dijaga (ngepam) oleh kepolisian serta sekeliling lahan di sudah pagar dan masyarakat tidak boleh masuk lagi kelahan untuk menanam.
Melihat hal tersebut, Masyarakat mengadukan masalah ini ke jakarta yang di tuju adalah Kementrian ATR/BPN, KomnasHam, Komnas Perempuan, DPR RI Komisi II, Kantor Staf Presiden dan Mabes Polri/Propam Polri. (Team Fpii Sumbar)