![]()
OKU SELATAN — Buser24.com Seorang siswi berinisial R (15), pelajar kelas 1 di SMA Negeri 1 Warkuk Ranau Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Sumatera Selatan, harus menanggung beban berat setelah dirinya diduga menjadi korban penyebaran video pribadi yang beredar melalui media sosial WhatsApp. Ironisnya, pihak sekolah justru mengambil keputusan mengeluarkan siswi tersebut dengan alasan telah “meresahkan masyarakat”.
Peristiwa ini terjadi di Desa Kota Batu, Kecamatan Warkuk Ranau Selatan, dan menuai perhatian publik setelah orang tua korban, Yulina, S.Pd.I, menyampaikan kekecewaan atas keputusan pihak sekolah yang dianggap tidak manusiawi serta tidak melindungi anaknya sebagai korban.
Menurut keterangan keluarga, video tersebut disebarkan oleh dua orang teman korban — satu di antaranya masih berstatus pelajar di sekolah yang sama, sementara yang lain sudah tidak bersekolah. Hingga kini, penyebaran video tersebut baru sebatas dugaan sementara dan belum ada pembuktian resmi dari pihak berwenang. Namun, tanpa menunggu proses hukum, sekolah langsung menjatuhkan keputusan mengeluarkan korban tanpa surat resmi.
“Salah satu guru, berinisial “Jon”, mengatakan bahwa anak saya membuat keresahan di masyarakat. Padahal anak saya justru korban, bukan pelaku,” ujar Yulina dengan nada kecewa.
Keputusan sepihak ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip perlindungan anak dan berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), serta Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Pendampingan Hukum oleh LSM PENJARA
Merasa hak anaknya terampas, keluarga korban kini mendapat pendampingan hukum dari DPC LSM PENJARA Indonesia Kabupaten OKU Selatan. Pendampingan dilakukan langsung oleh pengacara Rahmat Hidayat, S.H., yang menegaskan bahwa korban seharusnya dilindungi, bukan dijatuhi sanksi.
“Korban memiliki hak untuk tetap mendapatkan pendidikan dan perlindungan psikologis. Keputusan mengeluarkan korban tanpa dasar hukum yang jelas adalah tindakan diskriminatif dan berpotensi melanggar hak asasi anak,” tegas Rahmat Hidayat, S.H.
Lebih lanjut, Rahmat menyatakan pihaknya akan menempuh jalur hukum dengan melaporkan penyebaran video tersebut ke Polres OKU Selatan serta menuntut klarifikasi resmi dari pihak sekolah dan Dinas Pendidikan Sumatera Selatan.
“Anak ini butuh perlindungan dan pendampingan, bukan penghakiman. Kami mendorong aparat penegak hukum agar menindak tegas siapa pun yang dengan sengaja menyebarluaskan video pribadi korban,” tambahnya.
Keluarga Minta Keadilan dan Pemulihan Hak
Pihak keluarga korban berharap agar hak-hak pendidikan anak mereka segera dipulihkan, termasuk kesempatan untuk kembali bersekolah di lingkungan yang aman dan tidak diskriminatif.
“Harapan kami sederhana, anak kami bisa kembali belajar dengan tenang dan kasus ini diselidiki secara adil. Jangan sampai korban justru dihukum dua kali — secara sosial dan pendidikan,” tutup Yulina.
Kasus ini menjadi cerminan penting bagi dunia pendidikan, bahwa setiap lembaga sekolah wajib menjunjung prinsip perlindungan anak, terutama dalam situasi ketika siswa justru menjadi korban kekerasan atau eksploitasi digital.
Pihak sekolah hingga berita ini diterbitkan belum dapat dimintai keterangan resmi terkait keputusan pengeluaran siswi tersebut.
Bang One
Editor….zamri.
