
Penulis : Muhammad Deckaryan Lexa Justicio
FISIP Universitas Padjadjaran
Buser 24 com. Program DP Nol Rupiah adalah kredit murah berbasis tabungan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Program ini adalah salah satu program unggulan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam mengatasi ketersediaan rumah atau tempat tinggal bagi kelompok masyarakat miskin.
Dalam hal ini kebijakan dapat diartikan dengan cara bagaimana pemerintah memainkan kekuasaan melalui kebijakan-kebijakan. Namun, dalam perjalanannya terdapat berbagai kontroversi atau persoalan sehingga menimbulkan resistensi yang menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Mayoritas masyarakat tidak setuju dengan program tersebut karena tidak sesuai dengan apa yang telah disampaikan ketika kampanye.
Dalam draf perubahan Peraturan Daerah Tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (Perda RPJMD) tertulis bahwa batas penghasilan maksimal pemohon rumah Dp 0 Rupiah adalah Rp. 14 juta per bulan. Padahal, rumah DP 0 Rupiah merupakan salah satu janji kampanye Anies Baswedan saat pilkada DKI Jakarta 2016 yang awalnya diperuntukkan bagi warga yang penghasilannya maksimal Rp. 7 juta per bulan. Hal ini jelas berbanding terbalik dari apa yang dijanjikan.
Dalam RPJMD tersebut, Anies juga merubah target rumah DP 0 rupiah menjadi 10 ribu unit vertical housing yang sebelumnya 232 ribu unit. Hal ini menjadi logis, mengingat sepinya pembeli dalam program tersebut. Bukannya menyediakan rumah bagi masyarakat yang tidak mampu, tetapi justru memberi harapan palsu yang akhirnya menimbulkan penilaian negatif di kalangan masyarakat atau sering disebut “pencitraan atau buaian kata manis kampanye”.
Jadi kekuasaan yaitu tidak semata-mata dimainkan oleh negara (state) saja melainkan juga dimainkan oleh para individu. Demikian bila kebijakan (policy) dikaitkan dengan kalimat “Dari buaian hingga liang lahat, orang diklasifikasi, dibentuk, dan ditata menurut kebijakan, tetapi orang itu hanya menemukan sedikit kesadaran tentang, atau kontrol atas, bekerjanya proses-proses itu,” bukanlah berarti hal itu akan terjadi secara serta- merta. Para individu, yang diharapkan menjadi target dari kebijakan itu, niscaya akan mengadakan ‘perlawanan-perlawanan’ (resistence) dengan atau melalui kekuasaan- kekuasaan yang bisa dimainkannya. Itulah sebabnya Abu-Lughod (1989) sambil mengutip Foucault yang berkata “where there is power, there is recistance” bisa mengatakan bahwa resistensi itu adalah sebagai diagnostik kekuasaan (a diagnostic of power).
Editor. Zamri.