
Deskripsi: Pernyataan penambangan ilegal minyak yang dilontarkan Kadis ESDM Aceh Mahdinur, diberitakan oleh media lokal di Aceh, mendapat reaksi keras dari juru bicara Free Aceh Movement, Syukri Ibrahim.
TAG:Kadis ESDM,Mahdinur,ilegal,tambang minyak ilegal,jubir Free Aceh Movement,Syukri Ibrahim.
Sumber: rilis
Penulis: Zulfadhli Anwar
Buser24MediaGroup| Juru Bicara ( jubir) Free Acheh Movement, Syukri Ibrahim, mengkritisi pernyataan yang disampaikan oleh Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral ( Kadis ESDM ) Pemerintahan Aceh, Mahdinur di website resmi Pemerintah Aceh, www.acehprov.go.id, edisi Selasa (11/6/2024) terkait seruan kepada masyarakat untuk menghentikan penambangan ilegal minyak bumi (minyak mentah) di kabupaten Aceh Timur.
“Kami mengecam pernyataan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Mahdinur dalam pernyataan pers nya pada Rabu 05/06/24 meminta kepada warga Aceh Timur untuk menghentikan seluruh aktivitas pengeboran sumur minyak secara ilegal.
Permintaan tersebut agar tidak terulang lagi kasus terbakarnya sumur minyak yang memakan korban.
Kami dari Free Acheh Movement membantah pernyataan kata Ilegal Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).”Ungkap Sjukri selaku biro penerangan/informasi Free Acheh Movement dalam rilisnya pada Jum’at (14/6/2024)
yang dilansir media Buser24Group.
Selanjut, menurut Sjukri Ibrahim, sumber daya alam Aceh adalah sumber pendapatan bagi rakyat Aceh.
“Tidak ada kata ilegal untuk mereka rakyat dan itu legal menurut undang-undang Aceh, dan untuk rakyat Aceh,” tegas Sjukri.
Menurut aktivis Free Aceh Movement ini, pernyataan ilegal atas sumber alam Aceh yang dikelola secara sewenang-wenang oleh Pemerintah Pusat, belum berkeadilan bagi seluruh rakyat Aceh.
“Sedangkan kita tau yang bekerja di perusahaan migas Aceh adalah kebanyakan orang orang yang didatangkan dari luar Aceh, dan sangat minim orang aceh yang boleh masuk bekerja di perusahaan migas tersebut, dan di saat masyarakat lokal Aceh melakukan pengoboran minyak secara tradisional, anda katakan ilegal, apakah masyarakat Aceh hanya diperbolehkan jadi penonton di negerinya sendiri”ungkap Sjukri dengan nada bertanya memprihatinkan.
“Mereka yang datang menguras sumber alam kita dengan topeng sebagai keselamatan untuk masyarakat Aceh. Kami bergerak untuk keselamatan tanah pusaka bangsa Aceh yang kini sedang dirampas dan dibagi-bagikan kepada bangsa lain yang didatangkan beramai-ramai dengan memakai topeng dengan berbagai kebijakan pemerintah, dengan alasan keselamatan ekonomi dan kekayaan alam Aceh yang kini sedang dikuras habis habisan yang bekerjasama dengan kaum imperialis Barat atas nama ‘pembangunan’ kepada rakyat Aceh.” Kritik Sjukri dengan nada serius.
Sjukri juga menghimbau kepada Bangsa Atjéh, “peusaboh haté dan nawaitu geutanjoë lagèë njang ka geuamanah uléh éndatu dan Almarhum Paduka Wali, Tengku Tjhik di Tiro Hasan Muhammad dan gisa bak meunumat njan mangat ta peudong keulai harkat dan martabat Bansa Atjèh bibeuëh nibak sistim penjajahan.
Sjukri juga berpesan dalam rilisnya, “ingat dalam buku ; Frantz Fano
halaman 114,
bangsa asli harus sadar; penjajahan tidak pernah memberikan sesuatu tanpa mengharapkan balasan. Apa saja yang diperoleh oleh bangsa asli melalui perjuangan politik, bukanlah hasil dari pada kebaikan atau pun kemurahan hati penjajah; ia hanya menunjukkan betapa mereka tidak dapat bertahan untuk memberikan sesuatu dan lebih-lebih lagi, bangsa asli harus sadar bahwa, bukanlah penjajah yang memberikannya, tetapi penjajah itulah yang merampasnya dari bangsa terjajah, kebanyakan dari pada mereka lupa daratan atau hilang ingatan, karena bangsa terjajah sudah terbentuk sedemikian rupa.
Kalau perlu bangsa asli sepenuhnya menerima kompromi dari penjajah, tapi pada dasarnya tidak menyerah secara prinsip. ”
Sjukri juga mengutip kata bijak seorang
pemimpin yunani, mengatakan: “Bahagia hidup tergantung pada merdeka, dan merdeka tergantung pada berani,”Ungkap Sjukri Ibrahim atau lebih dikenal sapaan Wareeh, di akhir rilisnya.***