![]()
Air Putih, Batu Bara — Seharusnya menjadi bagian dari pekerjaan jurnalisme paling dasar: meliput realitas, membongkar praktik ilegal, dan mengawal kepentingan publik. Namun malam itu berubah menjadi momen kelam bagi kebebasan pers dan keadilan energi. Wartawati lokal, Mariati AB, menjadi korban kekerasan saat menjalankan tugas peliputan kelangkaan BBM di SPBU Desa Suka Raja, Dusun Kelembis, Kecamatan Air Putih, Jumat (05/12/2025).
Dalam laporan yang diterima, Mariati melihat ada kendaraan masuk-keluar SPBU dengan modus pengisian BBM ke jerigen dari dalam mobil — dilakukan langsung oleh petugas SPBU. Modus ini diduga bagian dari penimbunan dan penyalahgunaan BBM bersubsidi. Ketika hendak mendokumentasikan tindakan tersebut melalui video, petugas dan oknum pelaku panik: mereka merampas HP Mariati, menghapus video, lalu bersama beberapa rekannya menarik tangan Mariati hingga terjatuh ke lantai semen SPBU dan HP rusak, menyebabkan luka memar dan bengkak di tangan korban. Dalam video yang sempat beredar, terdengar seorang pria mengaku dengan lantang: “SAYA ANAK NAINGGOLAN,” — sebuah klaim yang menciptakan kegemparan politik dan sosial di masyarakat.
Keesokan malamnya (pukul 02.02 WIB, 6 Desember 2025), Mariati melaporkan peristiwa tersebut ke polisi: dengan nomor laporan LP/B/99/XII/2025/SPKT/Polsek Indrapura Polres Batu Bara. Dia meminta agar pelaku kekerasan segera ditangkap — dan lebih luas lagi, praktik pengisian jerigen ilegal serta penimbunan BBM bersubsidi diusut tuntas. Korban juga menyerukan agar Pemerintah Daerah, termasuk Bupati, memperhatikan kondisi kelangkaan BBM serta distribusi yang tidak sehat di wilayah mereka.
Menurut regulasi di Indonesia, pengisian BBM bersubsidi ke dalam jerigen oleh konsumen atau oknum SPBU — terutama untuk tujuan penjualan kembali atau penimbunan — dilarang dan dapat dijerat pidana.
Berdasarkan Undang‑Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), khususnya Pasal 55, setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga BBM subsidi dapat dipidana dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp 60 miliar.
Selain itu, jika penyalahgunaan dilakukan tanpa izin usaha — misalnya pengangkutan, penyimpanan, niaga eceran oleh perorangan atau SPBU ilegal — dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 53 UU Migas, yaitu antara 3–5 tahun penjara dan denda besar.
Laporan dari beberapa kasus menunjukkan bahwa SPBU yang melayani jerigen secara ilegal tidak hanya menerima sanksi pidana bagi pelaku, tetapi juga sanksi administratif — seperti penghentian suplai BBM, pencabutan izin usaha, atau pemutusan kerjasama dengan pemasok resmi.
Dengan demikian, jika dugaan terhadap SPBU di Desa Suka Raja terbukti — bahwa mereka melayani pengisian jerigen ilegal — maka oknum petugas SPBU, penimbun, dan pihak terkait bisa dikenakan sanksi tegas: pidana penjara, denda besar, serta kemungkinan pencabutan izin operasional SPBU.
Kasus ini — kombinasi antara kekerasan terhadap jurnalis, penimbunan BBM, dan distribusi subsidi yang diselewengkan — membawa implikasi serius:
- Pelanggaran hak publik: BBM subsidi seharusnya tepat sasaran ke pengguna yang berhak; penyalahgunaan berarti merampas hak rakyat kecil.
- Keamanan & keselamatan: Pengisian ke jerigen berisiko kebakaran, dan distribusi ilegal sering melanggar standar keselamatan.
- Kebebasan pers & kontrol sosial: Kekerasan terhadap jurnalis yang menjalankan fungsi kontrol adalah ancaman terhadap transparansi publik dan akuntabilitas institusi.
- Kredibilitas institusi SPBU & penegak hukum: Jika SPBU dan oknum petugas dibiarkan melanggar, kepercayaan publik akan runtuh.
Peristiwa di Batu Bara bukan sekadar cerita kelangkaan BBM — ini soal keadilan, hak rakyat, ketaatan hukum, serta keberanian jurnalis menjalankan tugas. Bila tidak segera disikapi dengan serius, bukan hanya subsidi negara yang disalahgunakan, tapi kepercayaan publik terhadap institusi bisa hancur.
Publik menuntut keadilan — untuk korban kekerasan, untuk distribusi BBM yang adil, dan untuk penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku penyalahgunaan. Apabila aparat berwenang dan Pemerintah Daerah cepat menindak, maka kasus ini bisa jadi momentum penting untuk memperbaiki distribusi energi serta melindungi hak rakyat.
(Nando Sagala)
